Tuesday, September 9, 2008

WAKTU ADALAH PEDANG




Berkesan bagiku karena tak menyangka Diknas sdh punya banyak sekali guru-guru SMK Perikanan, bayangkan diknas bisa mengirim 30 guru perikanan untuk ikut pelatihan di Jepang. Mereka ini pinter2 dan hebat2, punya motivasi dan inisiatif yang tinggi dan mau kerja keras, setidaknya selama di Jepang. Kebetulan saja yang jadi penanggung jawab kegiatan ini adalah dosen pembibimbingku, jadi aku juga bisa ikut menemani mereka selama mereka training, maksudnya bisa ikut jalan-jalan. Senang deh....

Pertama sekali datang mereka, harus naik sinkansen (kereta cepat) dari Fukuoka ke Kagoshima, dengan barang-barang bawaannya mereka harus pindah kereta dalam waktu 4 menit…luar bisa, tapi itulah pelajaran pertama yang harus mereka jalani. “Beginilah kondisi Jepang”, kata dosenku, “kita harus bisa mengatur waktu, sekali terlambat kalian akan ketinggalan kereta, jadi tolong waktu 4 menit ini diatur sebaik-baiknya” selanya lagi. Walaupun waktunya mepet tapi mereka berhasil pindah gerbong dengan aman.

Pengaturan waktu untuk angkutan di Jepang ini boleh diacungkan jempol. Baik kereta ataupun bis sudah mempunyai jadwal waktu dan mereka (kereta dan bis) itu bisa menepati janji, misal kalu skedulnya tiba jam 14:27, maka tepat jam segitu mereka tiba (anehnya juga mereka tidak bulatkan ke angka 14:25). Jadi untuk ngecek apakah kita sudah tiba di stasion yang di tuju, cukup mencocokan jam kita dengan jadwal tiba, kecuali kalu ragu, bolehlah nanya....

Berbeda dengan di Indonesia, ketika ngatar mahasiswa/i Kagoshima, Jepang yang field trip ke Indonesia, skedul alias perencanaan bisa berubah total…ini semua gara-gara angkutan. terutama soal macetnya…kita sulit sekali memperkirakan kapan bisa tiba di bandara atau tiba diloksi. Untuk bisa beradaptasi dengan waktu ini kita wajib punya teman yg sudah hapal jalur-jalurnya, kalau tidak, kita bisa ketinggalan pesawat.

Tapi jangan bangga dulu hai orang jepang, tentang ketepatan waktumu. Soalnya, terkadang kita butuh selang waktu juga untuk bisa memulihkan rasa sedih atau kecewa, kadang tak cukup hanya dengan sejam atau sehari, dan bahkan kadang perlu waktu sampai bertahun-tahun. Artinya kita tidak bisa mematok (seperti orang jepang) bahwa kesedihan/kekecewaan kita harus selesai dalam 4 menit, kalu tidak, bisa bunuh diri. Dan aku juga pernah terlambat dengan selang waktu 2 hari…benar ternyata memang perlu waktu yang lama untuk bisa memulihkannya…

Wednesday, September 3, 2008

IBU DAN BAPAK GURU

Ketika ada guru yang berhalangan untuk hadir, legalah hati teman sekelas. Kebahagiaan itu diungkapkan dengan menjadikan meja, dinding, kaca jendela, bahkan papan tulis sebagai alat musik, nyanyianpun biasanya melantun alami dari hampir separuh murid di kelas. Gemuruh suara musik dan obrolan ngalur-ngidulpun mau tak mau akan terdengar ke tetangga kelas bahkan kantor sekalipun. Untuk mengurangi suara ribut dan menghilangkan jejak siapa yang ribut ini, biasanya ada relawan yang akan menutup pintu kelas. Alhasil hampir semua personil di kelas hiruk-pikuk dengan penuh kebebasan, walau ada satu dua orang yang juga sibuk baca dan nyalin PR.

Tiba-tiba datanglah seorang guru spesial pengganti kelas…senyap jadinya. “Coba buka buku matematika halaman 100” bentak Pak Guru (ada comment “aduh pelajarannya baru halaman 15 koq”),. “Sekarang kerjakan soal no.1” …tak ada protes semua mengerjakan. Berselang 5 menit kemudian, “Apa ada yang sudah selesai” tanya Pak Guru…semua diam, termasuk Pak Guru. Sampai 5 menit ke-2 juga belum ada yang selesai. Bentakan pun bertambah keras, “Sekarang kalian tahu, bahwa masih banyak yang harus dikerjakan, kalaupun yang ngajar tidak datang kalian harus mengerjakan pelajaran apa saja…kalau tidak, kalian tidak akan maju-maju”. ....Ini cuma satu dari sekian banyak cerita semasa sekolah.

Begitu besar usaha dan harapan guru-guru kita dalam mendidik dan memajukan kita. Andaikan waktu itu umurku sudah lebih dari 18 tahun, mungkin diriku akan maklum dengan bentakan Pak Guru, tapi waktu itu usiaku baru 16-18 tahun. Lagi pula usia dan momentum itu memang untuk kami yang memang harus memainkan peran sebagai murid SMA.

Kini, andaikan Pak dan Bu Guru tau, sebenarnya tidak ada maksud untuk tidak maju, untuk tidak mau belajar, untuk tidak menghiraukan moral. ...Dan, ucapan tulus, maafkanlah kalau kami sudah membuat mu emosi, terima kasih atas semua yang telah engkau berikan yang tidak ternilaikan harganya bagi kami…
Lideman, September 3, 2008

Monday, September 1, 2008

BERGAYA SANG PENDEKAR SAMURAI


Beginilah jadinya ketika seorang teman jepangku, Yoshida san, mengajak kelaurgaku ke museum di kota Kagoshima, Japan. Setelah melihat-lihat beberapa isi museum tentang peniggalan samurai, seperti peralatan musik, peralatan bercocok tanam, peralatan permainan anak dan lain sebagainya, sampailah kami pada pojok yang sangat menarik. Disini kami menemukan pakaian para samurai di zaman dulu, yang biasanya cuma bisa dilihat dalam TV atau dunia maya.

Ditemani dan dipakaikan oleh petugasnya, akupun merasa bahwa aku bisa juga jadi seorang samurai, setidaknya bisa memakai pakaiannya. Tak mudah mengenakan pakaian ini, banyak embel2nya. Tapi setelah pakaian terpasang, puaslah rasa hatiku, maklum baru pertama kali mencobanya. Walau terasa berat tapi tdk begitu kuhiraukan, yang aneh adalah tanduk yang di kepala, ternyata tanduk ini mau lari ke belakang terus, harusnya kalu mau meneanduk larinya kedepan, tapi mungkkin ini disebabkan ukurannya yang kurang pas.

Untuk mengenang momen ini tak lupa diriku juga mulai berakting, baik sebagai seorang samurai, juga akting di depan kamera, begitu juga dengan keluargaku. ...Ketika ku tanya ke anak perempuanku yang masih berumur 4 th, dia bilang bahwa pakaiannya menakutkan...he...he, pantesan dari tadi anakku tidak segembira diriku...